MASUKNYA ISLAM DI TANAH LUWUK

LAPANDOSO DAN SEJARAHNYA



Suara mesin tempel (Katinting) mewarnai perjalanan kami menuju Monumen Lapandoso. Sebuah Monumen yang menandakan awal masuknya agama Islam masuk di Jazirah Sulawesi. Tepatnya di Dusun Muladimeng Desa Pabbaresseng Kecamatan Bua Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan. Sebuah ikon budaya dan Sejarah di Tanah Luwu.

Kondisi Air laut yang Pasang menjadikan perjalanan kami menuju Lapandoso terasa indah, dipagi hari jam 9.00 awal Oktober 2010. Monumen yang berjarak 600 meter dari tanggul tempat nelayan dan petani rumput laut menambatkan perahunya. Dari sinipun kelihatan suasana indah kelihatan anak-anak memancing ikan di pinggiran Tanggul dan adapula yang mandi-mandi.



Tepat di Muara Sungai Pabbaresseng, di pinggir pantai sebelah kanan terlihat sebuah Monumen berbentuk Masjid dengan Kubah warna biru, disekitarnya Nampak hijau dengan tumbuhan Bakau (Mangrove) yang tumbuh disekitarnya.
Perahu perahu kecil atau masyarakat setempat menyebutnya Balak-balak yang kami tumpangi telah sampai di depan Monumen Lapandoso dan beristirahat di pondok yang telah tersedia. Alunan angin pantai yang berhembus dengan suhu 30 derajat Celsius itu membuat kesejukan.



Monumen Lapandoso dengan luas monumen berukuran 2,5 x 2,5 meter tersebut merupakan bangunan yang dikelola oleh masyarakat secara swadaya walaupun tidak ekslusif tetapi pengunjungnya cukup banyak setiap tahunnya.
Dengan nilai religiusnya Lapandoso menjadi tempat rekreasi masyarakat Kabupaten Luwu yang dapat dijangkau dengan mudah walaupun kondisinya tidak ekslusif tanpa fasilitas seperti penginapan, motorboat, dll tetapi tempat ini menjadi tujuan pariwisata, salah satu alasannya adalah Mengenang pendaratan Pertama Khatib Datok Sulaiman sang pembawa Agama Islam di Tanah Luwu.


Di depan Monumen terhampar luas tambak atau empang yang berisi ikan Bandeng. Kami langsung memesan dan membeli pada pemilik empang. Kamipun disuruh mengambil dengan memukat langsung di tambak.
Setelah menikmati makan siang dengan menu Ikan Bakar Bandeng, kami beristirahat sejenak dibawah pepohonan Mangrove dengan kesejekuan angin laut, Panorama pantai terasa semarak dengan kicau burung yang beterbangan bebas dan kerap hinggap di dahan-dahan dan ranting. Terpukau oleh panorama pantai Lapandoso.



Kami mencoba menuju laut dengan menggunakan perahu balak-balak untuk menyaksikan keindahan karang laut di beberapa titik dengan jarak tempuh cuma 10 menit, dengan catatan pengunjung membawa peralatan menyelam, snorkeling, dan Kamera anti Air untuk menyaksikan aneka ragam keindahan bawah laut, seperti ikan Malaja (jenis lokal), Ikan Kerapu, dan berbagai jenis ikan karang.Kekayaan lautnya dimanfaatkan untuk wisata pemancingan.




Pada waktu-waktu tertentu saat perairan sedang hangat, seperti bulan September-Februari, beberapa jenis ikan yang dalam bahasa setempat menyebutnya dengan Ikan Ampelas, Kakap merah, dan Baba-baba kerap berkumpul dan menjadi obyek wisata yang menarik.
Tak jauh dari karang kami juga mengunjungi nelayan yang sedang menangkap ikan dengan menggunakan jaring yang disebut dengan Banrong. Alat tangkap ini menggunakan menara pengintai yang tingginya sampai 7 meter diatas permukaan air.



Pengelolaan Wisata Pantai
Keunggulan Pantai dengan Monumen Lapandoso simbol masuknya Islam di Tanah Luwu terasa menggelitik hati tatkala mengingat Pantai Lapandoso dengan panjang garis pantai 5.000 meter dan kekayaan laut yang memadai, sejatinya memiliki kekayaan bahari yang potensial untuk dikembangkan.
Sayangnya, pengelolaan pariwisata disini sama dengan tempat-tempat lainnya kerap terganjal dengan infrastruktur, transportasi, pengawasan, ataupun promosi yang tidak memadai. Belum lagi, pemanfaatan tempat secara eksklusif kerap ditentang karena tak memberikan imbal balik bagi penduduk lokal, bertentangan dengan nilai history atau religi dan lainnya.




Moh Iksan Nur Mallo, S.Hut anggota peneliti ornitologi dari Universitas Tadulako Palu Jurusan Kehutanan yang berkunjung ke Lapandoso sambil mengamati burung mengakui, keindahan tempat ini tak kalah hebat dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Hanya saja, potensi bahari itu belum dikelola secara serius. ”Tempat ini perlu dikembangkan dan dimanfaatkan untuk pariwisata dan riset mangrove dan biotanya untuk menunjang pariwisata bahari dengan basis religi dan kultur,” ujarnya.


MONUMEN LAPANDOSO, SIMBOL MASUKNYA ISLAM DI LUWU
Pikiran saya pun melayang ke Taman Laut Bunaken, Togian, Taka Bonerate, Tanjung Karang Donggala, Jalan Lingkar Kota Palopo, dan obyek wisata menakjubkan lainnya di Indonesia. Andai saja potensi Lapandoso digarap serius, barangkali akan mendunia, menyerap lapangan kerja, dan mendatangkan pendapatan bagi negara.

Keanekaragaman yang terjadi setelah setelah pemangku adat mulai berkurang,masyarakat Pabbaresseng sudah mulai maju dengan adanya Pabrik kayu Lapis yang berdiri tidak begitu jauh dari tempat dimana Tugu berada.Dari situlah perkembangan semakin maju.Pemimpin atau Kepala Desa yang saat itu menjabat sangatlah Arif dan Bijak dalam memimpin rakyatnya.

Namun masyarakat Pabbarasseng umumnya sebagai nelayan mata pencahariannya karena begitu dekat dengan laut.Sebelum ada rumput laut dahulu masyarakat umumnya memelihara ikan Bandeng dan udang.

DAERAH WISATA TANAH TORAJA ( TATOR )


Lokasi yang pasti sudah banyak di kenal ke seluruh dunia adalah pusat wisata di Tana Toraja, Rantepao, 328 km arah utara dari kota Makasar. Terletak 800 meter di atas permukaan laut, Rantepao menawarkan malam-malam yang sejuk dan menyenangkan. Pintu masuk ditandai sebuah pintu gerbang yang dibangun dengan gaya menyerupai perahu tradisional Indonesia. Jalan menuju lokasi melewati pegunungan Kandora dan Gandang yang spektakuler dan menurut mitologi Toraja. Diatas pegunungan ini lah nenek moyang pertama yang berwujud malaekat diturunkan dari surga.Di Rantepao adalah banyak toko yang menjual souvenir khas Tana Toraja. Diantaranya: kain tenun, patung, golok (dari yang kecil s/d yang besar), ukiran kayu dan lain-lain.
Posted by RheindRheind at 12:25 AM 1 comments Links to this post
MAKALE, IBUKOTA TANA TORAJA

Pada asal mulanya Makale berasal dari kata Makale menurut kata orang, penduduk yang hidup di Makale senantiasa bangun pada waktu matahari belun terbit (Makale') oleh karena leluhur mereka mempercayai bahwa orang yang bangun mendahului matahari terbit (Makale') selalu mendapat keberuntungan atau rezeki. Tetapi karena perubahan ucapan kata maka Makale' berubah menjadi Makale.
Makale adalah pusat pemerintahan dan juga terkenal sebagai kota tenang dan damai. Di tengah-tengah kota Makale terdapat sebuah kolam yang airnya jernih dan penuh berisi dengan bermacam jenis ikan. Kolamnya di sebut kolam Makale.
Bukit-bukit yang terjal dari kota dimahkotai oleh puncak menara gereja, sembari kaki lembah didominasi oleh bangunan pemerintah yang baru. Banyak di antaranya mengambil tipe bangunan rumah tradisional Toraja arsitektur yang penuh dengan ukiran dan atap yang melengkung. Kota merupakan daerah yang tepat menghubungkan dengan daerah Toraja barat, sekitar London, Suaya dan Sangalla. Pada saat pasar kota ini merupakan pusat aktivitas karena rakyat dari jauh datang dengan hasil produksinya berupa binatang, kerajinan tangan tikar, keranjang dan kerajinan buatan lokal.
Di luar areal kota Makale kita dapat menemui kebun-kebun yang menghasilkan bermacam-macam sayuran dan buahan-buahan tropis seperti sayur buncis, kool, sawit, kangkung, wortel, dan buah salak, jeruk, pisang, pepaya, tomat dan lain-lain.



MARANTE
Pada mulanya Desa Tondon lasim disebut Mesa' Ba'bana Tondon Apa' Tepona Padang, yaintu Tondok Batu, Siba'ta, Kondo' dan Langi'. Sangpulo dua Karopi'na itulah Desa Tondon, yang dipimpin oleh dua pemangku adat yang lazim disebut Toparenge', yaitu Marante dan Barang Bua'.
Fungsi Toparenge' disini adalah memimpin segala kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat baik itu upacara pesta syukur (Rambu Tuka') maupun upacara pesta pemakaman (Rambu Solo'), juga penentu kebijakan-kebijakan yang berlaku dalam masyarakat.
Seiring dengan kemajuan pembangunan dan terpilihnya Tana Toraja sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia. Sejak itu juga Marante terpilih sebagai salah satu objek wisata yang ada di Tana Toraja, karena Marante mempunyai letak yang sangat strategis, yaitu terletak pada jalan poro dari Makassar ke Palopo dan letaknya tidak jauh dari kota Rantepao yang jaraknya kira-kira 4 km. Disamping itu Marante mempunyai daya tarik tersendiri bagi wisatawan asing yang datang berkunjung ke Marante, baik itu wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara/domestik.
Objek wisata Marante memiliki banyak daya tarik peninggalan-peninggalan kuno yaitu berupa;
- Rumah adat (rumah tongkonan)- Patung-patung (tau-tau)- Erong- Kuburan batu/liang pahat- Patane (kuburan kayu)
Dan masih banyak lagi pemandangan yang bisa memikat hati wisatawan.Demikianlah sekelumit sejarah singkat dan daya tarik objek wisata Marante.Tau-tau adalah patung yang menggambarkan si mati. Pada pemakaman golongan bangsawan atau penguasa / pemimpin masyarakat muka salah satu unsur Rapasan (pelengkap upacara acara adat), ialah pembuatan tau-tau. Tau-tau ini dibuat dari kayu nangka yang kuat yang pada saat penebangannya dilakukan secara adat. Mata yang hitam dibuat dari tulang dan tanduk kerbau. Tau-tau tersebut diatas terdapat di Toraja yakni tempat pekuburan di dinding berbatu.


BORI
Objek wisata utama adalah rante (tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan seratus buah menhir / megalit), dalam bahasa Toraja disebut simbuang batu. Seratus dua (102) batu menhir yang berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah ukuran besar, 24 buah ukuran sedang dan 54 buah ukuran kecil. Ukuran menhir ini mempunyai nilai adat yang sama. Penyebab perbedaan adalah situasi dan kondisi pada saat pembuatan / pengambilan batu, misalnya; masalah waktu, kemampuan biaya dan situasi pada masa kemasyarakatan. Megalit / simbuang batu hanya diadakan bila seorang pemuka masyarakat yang meninggal dunia dan upacaranya dilaksanakan dalam tingkat Rapasan Sapurandanan (kerbau yang dipotong sekurang-kurangnya 24 ekor).
Pada tahun 1657 Rante Kalimbuang mulai digunakan pada Upacara Pemakaman Ne'Ramba' dimana 100 ekor kerbau dikorbankan dan didirikan dua simbuang batu. Selanjutnya paad tahun 1807 pada acara pemakaman Tonapa Ne'Padda' didirikan 5 buah simbuang batu, sedang kerbau yang dikorbankan sebanyak 200 ekor. Ne'Lunde yang pada upacaranya dikorbankan lebih dari 100 ekor kerbau didirikan 3 buah Simbuang Batu.
Selanjutnya berturut-turut sejak tahun 1907, banyak Simbuang Batu didirikan dalam ukuran besar, sedang, kecil dan secara khusus pada pemakaman almarhumah Lai Datu (Ne' Kase') pada tahun 1935 didirikan satu buah simbuang batu yang terbesar dan tertinggi. Simbuang batu yang terakhir adalah pada upacara pemakaman almarhum Sa'pang (Ne'Lai) pada tahun 1962.
Dalam kompleks Rante Kalimbuang tersebut terdapat juga hal-hal yang berkaitan dengan upacara pemakaman yaitu:
Lakkian yaitu persemayaman jenazah selama upacara dilaksanakan di Rante Balakkayan yaitu panggung tempat membagi daging secara adat Sarigan yaitu usungan jenasah Langi' yaitu bangunan induk menaungi sarigan Liang Pa' / kuburan batu yang dipahat.




BATUTUMONGA
Berlokasi di daerah Sesean yang beriklim dingin, sekitar 1300 meter di atas permukaan laut. Di daerah ini terdapat 56 menhir batu dalam sebuah lingkaran dengan lima pohon kayu ditengahnya. kebanyakan dari betu menhir itu berukuran dua sampai tiga meter tingginya. Pemandangan yang sangat mempesona di atas Rantepao dan lembah disekitarnya, dapat dilihat dari tempat ini sangat menarik untuk dikunjungi.

PALAWA'
Dahulu kala seorang lelaki dari Gunung Sesean bernama "Tomadao" bertualang. Dalam petualangallnya ia bertemu dengan seorang gadis dari gunung Tibembeng bernama "Tallo Mangka Kalena". Mereka kemudian menikah dan bermukim di sebelah timur desa Palawa' sekarang ini yang bernama Kulambu. Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki bernama Datu Muane' yang kemudian menikahi seorang wanita bernama Lai Rangri'. Kemudian mereka beranak pinak dan mendirikan sebuah kampung yang sekaligus berfungsi sebagai benteng pertahanan. Apabila ada peperangan antara kampung dan ada lawan yang menyerang dan dikalahkan/dibunuh, maka darahnya diminum dan dagingnya dicincang dan disebut Pa'lawak. Pada pertengahan abad ke 11 berdasarkan musyawarah adat disepakati mengganti nama Pa'lawak menjadi Palawa'. Palawa' sebagai suatu kompleks perumahan adat. Dan bukan lagi daging manusia yang dimakan, tetapi diganti dgn ayam, dan disebut Pa'lawa' manuk.
Keturuan Datu Muane secara berturut-turut membangun tongkonan di Palawa'.Sekarang ini terdapat sebelas tongkonan (rumah adat) yang urutannya sebagai berikut (dihitung dari sebelah barat):1. Tongkonan Salassa' dibangun oleh Salassa'2. Tongkonan Buntu dibangun oleh Ne' Tatan3. Tongkonan Ne' Niro dibangun oleh Patangke dan Sampe bungin4. Tongkonan Ne' Darre dibangun oleh Ne' Matasik5. Tongkonan Ne' Sapea dibangun oleh Ne' Sapiah6. Tongkonan Katile dibangun oleh Ne' Pipe7. Tongkonan Ne' Malle dibangun oleh Ne' Malle8. Tongkonan Sasana Budaya dibangun oleh Ne' Malle9. Tongkonan Bamba II dibangun oleh Patampang10. Tongkonan Ne' Babu' dibangun oleh Ne' Babu'11. Tongkonan Bamba I dibangun oleh Ne' Ta'pare
Sebagaimana layaknya tongkonan di Tana Toraja, maka tongkonan Palawa' juga memiliki rante yang disebut Rante Pa'padanunan dan liang tua (kuburan batu) di Tiro Allo dan Kamandi. Selain Tongkonan juga dibangun lumbung atau alang sura' (tempat menyimpan padi) sebanyak 5 buah.




LOMBOK PARINDING
Kuburan Erong Lombok Parinding adalah merupakan salah satu objek wisata yang menarik karena mempunyai daya tarik tersendiri seperti Erong yang unik dan antik, yang terletak di Dusun Parinding Matampu Kecamatan Sesean, kurang lebih 7 km dari kota Rantepao ke utara.
Lombok Parinding pertama kali ditempati oleh salah seorang yang bernama Tomangli anak dari suami istri Bongga Tonapo dan Datu Banua sekaligus cucu dari suami istri Palairan dan Patodemmanik dan disitulah mereka menetap mendirikan rumah sambil bertani-sawah.
Selanjutnya Tomangli melahirkan 8 orang dan anak Tomangli berkembang biak sampai sekarang (keturunan yang ke 7).
Melihat dan memperhatikan serta menghitung-hitung umur dan kuburan erong Lombok Parinding mulai dari ke 8 orang anak-anak Tomongli sudah berumur kurang lebih 700 tahun.
Demikianlah sejarah singkat kuburan erong Lombok Parinding. Semoga sejarah singkat ini dapat bermanfaat bagi wisatawan dan dapat dijadikan sebagai bahan informasi.




BUNTU PUNE
Objek wisata Buntu Pune terletak ± 3 km arah selatan jurusan Ke'te' Kesu', Buntu Pune adalah salah satu pemukiman yang dibangun oleh Pong Maramba' disekitar tahun 1880 dan merupakan pusat pemerintahannya setelah menjadi Parengnge' di wilayah Kesu' dan Tikala. Pada lokasi tersebut terdapat beberapa lumbung dan tongkonan yang dipindahkan dari daerah perbukitan dan lereng-lereng gunung batu oleh generasi berikutnya serta dibangun bertipe pemukiman orang Toraja zaman dulu yang bernuansa exklusif, sukar dicapai musuh karena pos-pos pengintaian yang berlapis-lapis serta didukung oleh situasi alam di sekitarnya. Buntu Pune didukung oleh latar belakang batu cadas dimana pada dinding-dinding batu tersebut terdapat gua-gua alam yang juga dimanfaatkan untuk kuburan-kuburan leluhur. Dengan demikian kita banyak menjumpai erong (peti mayat purba) di dalam liang-liang tersebut. Di lokasi tersebut terdapat juga patane (kuburan dari semen) di puncak gunung batu yang dibuat sekitar tahun 1918 dan sampai saat ini masih digunakan.
Buntu Pune sampai sekarang masih terpelihara dengan baik dan termasuk salah satu situs peninggalan sejarah dan kepurbakalaan pada suaka peninggalan sejarah dan purbakala Sulawesi Selatan dan Tenggara.

TO'BARANA' SA'DAN
Di lokasi To'Barana pada mulanya dilili' atau dibentuk oleh nenek moyang keluarga To'Barana' yang bernama Langi' Para'pak yang dijadikan perkampuang keluarga yang luasnya kira-kira 300 x 150 meter dan mendirikan sebuah rumah tongkonan keluarga yang dinamai tongkonan To'Barana'. Dibaharui oleh leluhur To'Baraba' bernama Puang Pong Labba kira-kira dua abad yang lalu dan kemudian dibaharui pula oleh keluarga Puang Pong Padata pada tahun 1959, dimana lokasi dan rumah tongkonan tersebut diwariskan kepada turun temurunnya sampai dewasa ini dan sudah menjadi objek wisata pertenunan asli.
Lokasi tersebut di pinggir sungai Sa'dan dan dikelilingi sungai Sa'dan yang berbentuk huruf "S" itulah sebabnya To'Barana' adalah pusat Sa'dan.
Posted by RheindRheind at 11:39 PM 5 comments Links to this post
Thursday, December 14, 2006
Tempat wisata di Tana Toraja 1

Lemo adalah tempat pekuburan dinding berbatu dan patung-patung (tau-tau). Jumlah lubang batu kuno ada 75 buah dan tau-tau yang tegak berdiri sejumlah 40 buah sebagai lambang-lambang prestise, status, peran dan kedudukan para bangsawan di desa Lemo. Di beri nama Lemo oleh karena model liang batu ini ada yang menyerupai jeruk bundar dan berbintik-bintik.
Sejak tahun 1960, objek wisata ini telah ramai di kunjungi para wisatawan asing dan wisatawan nusantara.Pengunjung dapat pula melepaskan keinginannya dan membelanjakan dolarnya, euronya atau rupiahnya pada kios-kios souvenir. Ataukah berjalan-jalan sekitar objek menyaksikan buah-buah pangi yang ranum kecoklatan, yang siap diolah dan di makan sebagai makanan khas suku Toraja yang di sebut "Pantollo Pamarrasan". Selamat menikmati.
KAMBIRA ( KUBURAN BAYI / PASSILLIRAN )
Seseorang yang belum tembuh gigi apabila menungal dunia akan dikuburkan ke dalam sebatang pohon kayu yang hidup dari jenis pohon kayu Tarra'. Kayu yang digunakan dilokasi ini telah berumur sekitar ± 300 tahun yang lalu.
Proses pelaksanaan pekuburan sejenis ini mengenal tahap-tahap sebagai berikut:Bayi yang meninggal dibalut dengan kian putih yang pernah dipakai dalam posisi dalam keadaan dipangku.Kemudian keluarga memberi tanda pada pohon kayu yang hendak digunakan sebagai kuburan (ma'tanda kayu).Membuat lubang dengan ketentuan tidak boleh berhadapan dengan rumah kediamannya.Mempersiapkan penutup kubur dari bahan pelepah enau (kulimbang ijuk).Membuat tana' (pasak) karurung dari ijuk sesuai tingkatan strata sosialnya.12 tana' karurung bagi tingkatan bangsawan.8 tana' karurung bagi tingkatan menengah.6 tana' karurung bagi tingkatan bawah.
Ma'kadende' yaitu membuat tali ijuk sebelum jenasah dibawa ke kuburan, seekor babi jantan hitam dipotong/disembelih di halaman rumah duka, kemudian dibawa ke kuburan dengan diusung.Setibanya di kuburan babi/daging tersebut dimasak dalam bambu/dipiong, tanpa diberi garam atau bumbu lainnya setelah semua itu siap mayat dibawah ke kuburan dengan syarat sebagai berikut:
Dibawa dalam posisi dipangku.Pengantar mayat baik laki-laki maupun perempuan harus berselubung kain.Dilarang berbicara, menoleh ke kiri atau ke kanan maupun ke belakang.
Setibanya jenasah di pekuburan penjemput jenasah turun dari tangga lalu mengambil, mengangkat, dan memasukkan jenasah ke dalam lubang kayu dalam posisi berlutut menghadap keluar. Kemudian kubur itu ditutup dengan kulimbang di tana' /dipasak sesuai dengan statusnya dan sesudah ini dilapisi dengan ijuk dan diikat dengan kadende' (tali ijuk).
Sepanjang kegiatan tersebut di atas, seluruh orang yang hadir dilarang berbicara, nanti setelah ma'taletek pa'piong (membelah bambu berisi daging yang sudah masak) berarti orang sudah boleh berbicara dan orang yang berada diatas tangga sudah boleh turun.

LONDA
Sama dengan Lemo, Londa adalah tempat pekuburan dinding berbatu dan patung-patung (tau-tau). Di dalamnya terdapat gua dengan banyak tengkorak kepala manusia. Objek wisata Londa yang berada di desa Sandan Uai Kecamatan Sanggalangi' dengan jarak 7 km dari kota Rantepao, arah ke selatan, adalah kuburan alam purba. Gua yang tergantung itu, menyimpan misteri yakni erong puluhan banyaknya, dan penuh berisikan tulang dan tengkorak para leluhur, tau-tau. Tau-tau adalah pertanda bahwa telah sekian banyak putra-putra Toraja terbaik telah dimakamkan melalui upacara adat tertinggi di wilayah Tallulolo. Gua-gua alam ini penuh dengan panorama yang menakjubkan ± 1.000 m jauh kedalam, dapat dinikmati dengan petunjuk guide yang sudah terlatih dan profesional.
Kuburan alam purba ini dilengkapi dengan sebuah "Benteng Pertahanan". Patabang Bunga yang bernama Tarangenge, yang terletak di atas punggung gua alam ini. Objek ini sangat mudah dikunjungi, oleh karena sarana dan prasarana jalannya baik. Satu hal perlu diingat bahwa seseorang yang berkunjung ke objek ini, wajib memohon izin dengan membawa sirih pinang, atau kembang. Sangat tabu/pemali (dilarang keras) untuk mengambil atau memindahkan tulang, tengkorak, atau mayat yang ada dalam gua ini.




TAMPANG ALLO (burial cave)
Sejarah singkat objek wisata Tampang Allo (atau Tampangallo) ini merupakan sebuah kuburan gua alam yang terletak di Kelurahan Kaero Kecamatan Sangalla' dan berisikan puluhan erong, puluhan tau-tau dan ratusan tengkorak dan tulang belulang manusia.
Pada sekitar abad ke 16 oleh penguasa Sangalla' dalam hal ini Sang Puang Manturino bersama istrinya Rangga Bulaan memilih Gua Tampang Allo sebagai tempat pemakamannya kelak jika mereka meninggal dunia. Demikianlah Rangga Bulaan di gadis cantik, asuhan sang kera, meninggal lebih dahulu dan jenazalmya dimasukkan ke dalam Erong serta diletakkan dalam gua Tampang Allo. Sedangkan Sang Puang Manturino pada saat meninggal Erong ditempatkan pada pemakaman losso' yang letaknya tidak jauh dari Tampang Allo. Entah bagaimana kemudian erong Sang Puang ternyata kosong. Sedangkan jenasahnya telah bersatu dengan jenazah istrinya di Tampang Allo. Lama setelah Sang Puang dan istrinya Rangga Bulaan meninggal dunia pusaka kerajaan yang disebut Bakasiroe' diambil alih oleh Puang Musu' sebagai penguasa Tongkonan Puang Kalosi. Pada masa itu juga Tana Toraja yang dikenal sebagai Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo berada dalam kekacauan akibat serangan dari kerajaan Bone. Terjadi juga peperangan antara daerah/ masyarakat setempat dan tentara Bone membantu salah satunya dan akibat yang kalah perang dirampas sawah dan kekayaannya serta orang-orangnya dikirim ke Madan dan ke daerah Bugis.
Puang Musu' membawa pusaka Baka Siroe' mengungsi ke Madan dan sewaktu Puang ini menyeberang sungai Sa'dan dan salah seorang yang bernama Karasiak membunuh Puang Musu' dan merampas Baka Siroe'. Keturunan Puang Musu' selalu berusaha dengan cara apapun untuk mengembalikan pusaka Baka Siroe' ke tempatnya semula pada tahun 1934, terjadilah perdamaian antara Puang Musu' dengan keturunan Karasiak melalui perkawinan. Kemudian dengan lahirnya anak di pari tanga, Pusaka Baka Siroe' diberikan kepada anak tersebut untuk menyimpan dan memeliharanya.
Demikian juga tempat pemakaman mereka kelak disepakati di Gua Tampang Allo sebagai perwujudan perjanjian dan sumpah suami istri yaitu "sehidup semati satu kubur kita berdua".
Suaya , Kuburan raja-raja Sangalla.
Kuburan berada di salah satu sisi dari bukit. Dipahat sebagai tempat beristirahat dari tujuh raja dan keluarga kerajaan Sangalla. Tau-tau dari Raja-raja dan keluarga raja berpakaian sesuai dengan pakaian adat raja Toraja di tempatkan dimuka kuburan batu. tangga batu tersedia untuk naik ke bukit dimana raja dikala hidupnya digunakan untuk bersepi-sepi, ditempat itu akan dibuat museum untuk menempatkan harta kekayaan dari raja-raja Sangalla.

KE'TE KESU'
Ke'te' Kesu' adalah objek wisata yang sudah populer sejak tahun 1979 terletak dikampung Bonoran yang berjarak 4 km dari Kota Rantepao, telah ditetapkan sebagai salah satu Cagar Budaya dengan nomor; registrasi 290 yang perlu dilestarikan/ dilindungi. Objek wisata ini sangat menarik, oleh karena memiliki suatu kompleks perumahan adat Toraja yang masih asli, yang terdiri dari beberapa Tongkonan, lengkap dengan Alang Sura' (lumbung padinya). Tongkonan tersebut dari leluhur Puang ri Kesu' di fungsikan sebagai tempat bermusyawarah, mengelolah, menetapkan dan melaksanakan aturan-aturan adat, baik aluk maupun pemali yang digunakan sebagai aturan hidup dan bermasyarakat di daerah Kesu', dan juga di seluruh Tana Toraja, yang disebut aluk Sanda Pitunna (7777).Objek wisata ini dilengkapi pula dengan areal; upacara pemakaman (rante), kuburan (liang) purba dan makam-makam modern, namun tetap berbentuk motif khas Toraja, pemukiman, perkebunan dan persawahan yang cantik dan menyejukkan hati. Sekaligus para pengunjung dapat menyaksikan seni ukir Toraja di lokasi ini.




LO'KO MATA

Lo'ko Mata mengambil posisi di lerang gunung Sesean pada ketinggian ± 1.400 m di atas permukaan laut. Suatu tempat yang sangat menawan, fantastik dan bila seseorang datang dan menyaksikan serta merenungkan ciptaan ini rasa kangen pasti ada. Selain itu anda dapat menyaksikan panorama alam yang sangat indah dan deru arus sungai di bawah kaki kuburan alam ini. Yang terletak di desa Pangden ± 30 km dari kota Rantepao.Nama Lo'ko' Mata diberi kemudian oleh karena batu alam yang dipahat ini menyerupai kepala manusia, tetapi sebenarnya liang Lo'ko' Mata sebelumnya bernama Dassi Dewata atau Burung Dewa, oleh karena liang ini ditempati bertengger dan bersarang jenis-jenis burung yang indah-indah warna bulunya, dengan suara yang sangat mengasyikkan tetapi kadang-kadang menakutkan.Pada abad ke 14 (1480) datanglah pemuda Kiding memahat batu raksasa ini untuk makam mertuanya yang bernama Pong Raga dan Randa Tasik (I) selanjutnya pada abad 16 tahun 1675 lubang rang ke II dipahat oleh Kombong dan Lembang. Dan pada abad ke 17 lubang yang ke III dibuat oleh Rubak dan Datu Bua'. Liang pahat ini tetap digunakan sampai saat ini saat kita telah memasuki abad ke XX (milenium III). Luas areal objek wisata. Lo'ko' Mata ± 1 ha dan semua lubang yang ada sekitar 60 buaah.

PANGLI, PATANE PONG MASSANGKA

( Statue of the murderer Pong Massangka, the man who killedA. A. van de Loosdrecht, the first missionary in Tana Toraja)....
Patane (kuburan dari kayu berbentuk rumah Toraja) dibangun pada tahun 1930. Untuk seorang janda yang bernama Palindatu yang meninggal pada tahun 1920 dan diupacarakan secara adat Toraja tertinggi yang disebut Rapasan sapu randanan. Palindatu dikawini oleh seorang putra bernama Tangkeallo dan melahirkan beberapa anak. Salah satu anaknya yang bungsu bernama Semba' alias Pong Massangka dengan gelar Ne' Babu' oleh kematian misionaris belanda Arie van de Loosdrecht di Rante Dengen Bori' pada tanggal 27 Desember 1917, maka Pong Massangka alias Ne' Babu' salah satu yang tertuduh sehingga dihukum buang ke Bogor / Nusa Kambangan dan dikembalikan pada tahun 1930 ke Tana Toraja dan meninggal dunia pada tahun 1960 dalam usia 120 tahun (lahir 1840). Mayat Pong Massangka dengan gelar Ne' Babu' disemayamkan dalam patane ini dan tau-taunya yang terbuat dari batu yang dipahat siap menanti kunjungan anda.


Tidak perlu diragukan lagi bahwa Tana Toraja adalah salah satu daerah Tujuan Wisata di Indonesia yang sangat mempesona. Di sepanjang perjalanan menuju TATOR ( singkatan dari Tana Toraja ), banyak bukit-bukit yang bergerigi dari pengunungan yang berjejer di utara sampai di kejauhan yang bening Menembus celah bambu dan pohon aren yang pipih diatas bukit kecil di tengah sawah. Keunikan atap rumah Toraja yang melengkung dengan khas berdiri mendemonstrasikan kecakapan yang mengagumkan dari orang Toraja dalam keahlian mengukir dengan warna lukisan yang alami.
Sebelum Belanda menguasai daratan ketinggian ini pada abad ke-20 Masehi tidak ada satu kata pun yang diberikan kepada nama dari agama mereka selain ada kata "aluk" yang mengaju kepada suatu kebiasaan ritual dan masalah kehidupan sehari-hari yang harus dikendalikan, seperti ; cara adat sebuah rumah dibangun, beras dimasak, anak-anak dan kepala desa disapa, berapa jumlah kerbau yang harus dikorbankan di upacara adat kematian, kapan dimulai dan sebagainya. Salah satu dari dasar ajaran selalu ada adalah saling memberi dan menerima antar mereka. Anugrah dan kutukan selalu terjadi antar yang hidup dengan spirit dari nenek moyang mereka.
Upacara kematian adalah upacara yang paling bergengsi di dalam tradisi orang Toraja. Tana Toraja mempunyai banyak atraksi untuk wisatawan. Didaerah pengunungan yang sejuk ini ( ketinggian kurang lebih 800 - 1000 meter diatas permukaan laut ), pemandangan yang khusus, para pengrajin harmonis dengan keheningan dan keindahan yang alami. Walaupun lebih dari setengah penduduk telah memeluk agama Kristen, mereka tetap berbangga dengan warisan kebudayaan nenek moyang mereka. Dan senantiasa ramah menerima para wisatawan dengan upacara ritualnya.
Posted by RheindRheind at 9:58 AM 0 comments Links to this post
Monday, December 11, 2006
Tarian (Tari Pa' Gellu')


Lakon Ritual Aluk Todolo dalam menunaikan aturan keagamaan yang berwujud pada pemujaan terhadap Puang Matua, Deata maupun To Mambali Puang, banyak dimanifestasikan dalam bentuk seni tradisional seperti seni tari, seni suara, seni musik, seni sastra tutur, seni ukir dan seni pahat.

Kesenian yang diapresiasikan senantiasa berkaitan dengan Aluk Rambu Tuka' dan Aluk Rambu Solo'. Pada umumnya jenis-jenis kesenian yang dipentaskan secara khusus untuk masing-masing kegiatan ritual adat, baik Rambu Tuka' maupun Rambu Solo'. Namun ada juga jenis kesenian yang dipentaskan pada kedua jenis ritual. Jenis kesenian tersebut disebut Ada' Basse Bubung, yaitu kesenian yang boleh dipentaskan pada upacara kegembiraan Aluk Rampe Matallo maupun pada acara kedukaan Aluk Rampe Matampu'.

Ma'badong




Hampir semua ragam seni yang dipentaskan merupakan perpaduan beberapa ragam seni, seperti perpaduan antara seni suara dengan seni tari, seni tari dengan seni musik, atau seni suara dengan seni musik.

Jenis kesenian yang telah dikembangkan dalam budaya masyarakat Tana Toraja antara lain : Tarian Ma'gellu awalnya dikembangkan di Distrik Pangalla' kurang lebih 45 km ke arah Timur dari kota Rantepao dan biasanya dipentaskan pada upacara khusus yang disebut Ma'Bua', yang berkaitan dengan upacara pentasbihan Rumah adat Toraja/Tongkonan, atau keluarga penghuni tersebut telah melaksanakan upacara Rambu Solo' yang sangat besar (Rapasaan Sapu Randanan).

Saat ini tarian Ma'gellu' sering juga dipertunjukkan pada upacara kegembiraan seperti pesta perkawinan, syukuran panen, dan acara penerimaan tamu terhormat. Tarian ini dilakukan oleh remaja putri dengan jumlah ganjil dan diiringi irama gendang yang ditabuh oleh remaja putra yang berjumlah empat orang. Busana serta aksesoris yang digunakan adalah khusus untuk penari dengan perhiasan yang terbuat dari emas danperak seperti Keris Emas/Sarapang Bulawan, Kandaure, Sa'pi' Ulu', Tali Tarrung, Bulu Bawan, Rara', Mastura, Manikkata, Oran-oran, Lola' Pali' Gaapong, Komba Boko' dan lain-lainnya.

Tarian Boneballa'/Ondo Samalele' sama seperti tarian Ma'gellu' tarian ini juga termasuk jenis tari kegembiraan yang biasanya dipentaskan dalam upacara syukuran kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, rasa syukur atas keberhasilan/ kesuksesan keluarga besar dalam menyelesaikan pembangunan kembali (rehabilitasi atau restorasi) tongkonannya. Upacara ini biasanya disebut Merok, biasa juga dikaitkan dengan selesainya suatu keluarga menyelenggarakan upacara Rambu Solo' yang besar mangrapai'/sapu randanan. Bone Balla' ditarikan oleh kaum wanita dan remaja putri yang adalah keluarga yang berasal dari tongkonan itu. Tarian ini diiringi dengan tabuhan gendang yang iramanya dikenal dengan sebutan Oni Tumburaka dan Oni Tuntunpitu. Tarian Boneballa' juga selalu diiringi dengan lirik lagu yang disebut Passengo/syair-syair pemujaan kepada Tuhan. Pakaian dari penari juga khusus dan memakai perhiasan yang sama dengan tari Ma'gellu' namun lebih dilengkapi lagi dengan hiasan : Sissin Ake', Tida-tida, Dodo Tannung Pamiring, Bayu Paruki' dan Passapu. Tari Boneballa' ditutup dengan tari massal yang diikuti dengan puluhan keluarga.
Tarian Pa' Gellu'
Gellu' Pangala' adalah salah satu tarian tradisional dari Tana Toraja yang dipentaskan pada acara pesta "Rambu Tuka" juga tarian ini ditampilkan untuk menyambut para patriot atau pahlawan yang kembali dari medan perang dengan membawa kemenangan. Tetapi tarian ini tabu atau pamali dipentaskan pada acara "Rambu Solo".

konon bentuk tongkonan menyerupai perahu kerajaan Cina jaman dahulu

Terik sinar matahari terasa semakin menyengat mata pada saat dipantulkan oleh papan berwarna merah yang menopang sebuah bangunan dengan bentuknya bak perahu kerajaan cina, guratan pisau rajut merajut di atas papan benwarna merah membentuk ukiran sebagai pertanda status sosial pemilik bangunan, ditambah lagi oleh deretan tanduk kerbau yang terpasang/digantung di depan rumah, semakin menambah keunikan bangunan yang terbuat dari kayu tersebut. Bentuk bangunan unik yang dapat dijumpai dihampir setiap pekarangan rumah masyarakat Toraja ini, lebih dikenal dengan sebutan nama Tongkonan.
Konon kata Tongkonan berasal dari istilah "tongkon" yang berarti duduk, dahulu rumah ini merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat dan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Tana Toraja. Rumah ini tidak bisa dimiliki oleh perseorangan, melainkan dimiliki secara turun-temurun oleh keluarga atau marga suku Tana Toraja. Dengan sifatnya yang demikian, tongkonan mempunyai beberapa fungsi, antara lain: pusat budaya, pusat pembinaan keluarga, pembinaan peraturan keluarga dan kegotongroyongan, pusat dinamisator, motivator dan stabilisator sosial.

Oleh karena Tongkonan mempunyai kewajiban sosial dan budaya yang juga
bertingkat-tingkat dimasyarakat, maka dikenal beberapa jenis tongkonan,
antara lain yaitu Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio' Aluk, yaitu Tongkonan tempat menciptakan dan menyusun aturan-aturan sosial keagamaan.

Tongkonan Pekaindoran atau Pekamberan atau Tongkonan kaparengngesan
yaitu Tongkonan yang satu ini berfungsi sebagai tempat pengurus atau pengatur pemerintahan adat, berdasarkan aturan dari Tongkonan Pesio' Aluk.
Tongkonan Batu A'riri yang berfungsi sebagai tongkonan penunjang.
Tongkonan ini yang mengatur dan berperan dalam membina persatuan keluarga serta membina warisan tongkonan. Tongkonan merupakan peninggalan yang harus dan selalu dilestarikan, hampir seluruh Tongkonan di Tana Toraja sangat menarik untuk dikunjungi sehingga bisa mengetahui sejauh mana adat istiadat masyarakat Toraja, serta banyak sudah Tongkonan yang menjadi objek wisata.

Tongkonan Marimbunna
Tongkonan tersebut terletak dikelurahan Tikala, sekitar 6 Km arah utara Rantepao. Marimbunna, merupakan nama dari orang pertama yang datang di daerah ini. Mempunyai daya tarik berupa peninggalan-peninggalan Marimbunna, yaitu: rumah sekaligus tempat mandi yang letaknya berada di atas karang, liang batu yang proses pembuatannya dipahat dengan menggunakan kayu serta ada juga kuburan Marimbunna yang diukir berbentuk perahu dan kerbau berdiri. Di sini kita juga dapat menjumpai jasad Marinbunna, yang tinggal tulangnya saja namun rambutnya tetap menempel di dahinya.

Benteng Batu

Benteng Batu adalah nama perkampungan asli orang Baruppu. Perkampungan ini terletak di Kecamatan Rindingallo, dengan jarak kurang lebih 50 Km arah utara Rantepao, didaerah ini seluruh wilayahnya dikelilingi oleh tebing. Sehingga otomatis keberadaannya terisolir dari dunia luar, untuk dapat masuk ke daerah tersebut hanya bisa melewati satu jalan yakni sebuah lorong batu yang memiliki daya tarik tersendiri. Tebing-tebing yang mengeliligi daerah ini masing-masing diberi nama, antara lain: Tebing batu, Kavu Angin dan Benteng Saji. Selain pemah dipakai untuk benteng pertahanan melawan Belanda, di tebing-tebing tersebut, terdapat kuburan dalam bentuk liang pahat maupun gua alam yang ada jasadnya. Pada setiap tahunnya, diadakan prosesi ritual penggantian pakaian jenazah yang disebut dengan to'ma' nene.

Tongkonan Bate-Banbalu

Tongkonan Bate-Bambalu terletak di Kecamatan Sa'dan Balusu, dengan jarak tempuh sekitar 2,5 Km arah timur Palopo. Didirikan sekitar abad X Masehi dan merupakan tongkonan tertua di daerah tersebut. Didirikan oleh seorang yang bernama Tanditonda, yang merupakan nenek moyang penduduk disana. Mitos yang ada menyebutkan bahwa Tanditonda adalah orang yang kaya akan kerbau dan gemar minum susu kerbau, hingga suatu saat susu-susu kerbaunya hilang dicuri orang, yang ternyata kelak si pencuri itu menjadi istrinya. Sebelum menikah dengan perempuan yang bernama Manurun Di Batara tersebut, mereka
membuat kesepakatan bahwa Tangditonda tidak boleh memukul istrinya. Namun suatu saat janji itu dilanggarnya, istrinya yang sebenarnya dewa itu akhirnya meninggalkannya menuju langit, jalan lewat pelangi, dengan meninggalkan rumah tongkonannya, dan juga tenun yang belum selesai.

Tongkonan Siguntu'

Tongkonan Siguntu' terletak di Dusun Kadundung, Desa Nonongan Kecamatan
Sanggalangi'. Dengan jarak sekitar 5 Km dari kota Rantepao, tongkonan yang unik ini dibangun oleh Pongtanditulaan. Keberadaannya yang di atas sebuah bukit menyajikan pemandangan alam yang indah mempesona, dengan dikelilingi hamparan sawah pada bagian timur serta tebing-tebing bukit Buntu Tabang, dengan keberadaan seperti ini membuat tongkonan nampak megah serasi bersatu dengan alam disekitarnya.

Tongkonan Lingkasaile-Beloraya

Tongkonan Lingkasaile adalah tongkonan yang pertama kali di daerah ini. Dibangun di kawasan Desa Balusu, 14 Km dari Rantepao, pendirinya bernama Takke Buku, keturunan Polo Padang dan Puang Gading. Tongkonan yang sudah ditumbuhi tanaman paku diatapnya ini, masih menyimpan perabot rumah tangga tempo dulu. Selain itu, tongkonan ini punya daya pikat khusus, yaitu di percaya, bila kita lewat pasti ingin menolehnya kembali. Oieh karena itulah tongkonan ini disebut dengan Lingkasaile-Beloraya, lingka sendiri berarti langkah, sedangkan Beloraya berarti menoleh kembali. Takke Buku memiliki/menyandang gelar Puang Takke Buku, beliau hidup kurang lebih pada abad ke-10. Selain Tongkonan Lengkasaile yang dibangun, ia juga membuat kuburan Bagi keluarganya yang disebut Liang Sanda Madao dan Rante Tendan yang digunakan tempat upacara pemakaman.

Tongkonan Rantewai
Tongkonan Rantewai atau Tongkonan Ranteuai, ini dibangun oleh sepasang suami istri bernama To welai Langi'na dan Tasik Rante Manurun. Didirikan sekitar abad XVII, Tongkonan ini memiliki simbol kepemimpinan, yakni tergambar pada patung kayu yang berbentuk "kepala naga" sebanyak delapan
buah. Pada tahun 1917, Seluruhpeninggalan mengenai bukti perjuangan dalam mempertahankan tanah air bisa kita dapatkan di rumah adat Tongkonan Kollo-kollo ini.

Tongkonan Penanian

Suatu nama yang manis, oleh karena "Penanian" dalam bahasa Toraja, berarti sesuatu yang bermanfaat bagi semua orang, untuk dibaca dan dinyanyikan. Tongkonan ini terletak sekitar 14 Km arah timur kota Rantepao. Tongkonan Penanian mempunyai daya tarik keindahan tersendiri. Dengan menyajikan pemandangan serta tata letak deretan lumbung padi atau Alangsura' yang berjajar rapi dan antik. Lumbung-lumbung padi ini dibangun oleh Kepala Distrik Nanggala bernama Siambe Salurapa' yang juga sebelumnya sebagai pemangku adat dalam daerah Nanggala dan sekitarnya.

Tongkonan Layuk Pattan

Tongkonan layuk pattan, terletak di desa ulusalu, sekitar 18 Km dari kota Makale. Di bawah kepemimpinan Ma'dika, pemimpin tertinggi desa ini, para generasi maupun leluhur desa senantiasa melaksanakan upacara adat rambu tuka' atau ma'bua' ditongkonan tersebut. Selain itu, tongkonan Layuk Pattan juga berfungsi sebagai tempat musyawarah aluk atau adat, yang lebih dikenal dengan istilah tondok panglisan aluk, tempat pemerintahan juga sebagai tempat pengadilan adat. Tongkonan Layuk Pattan didirikan oleh Kala' pada kira-kira abad XIV, beragam peninggalan sejarah yang dapat disaksikan disini. Selain Tau-tau berjumlah 130 buah, tempat upacara adat Rante, monumen batu menhir, juga barang pusaka lainnya seperti mawa', keris dan tombak. Desa ini juga dilengkapi dengan sebuah Benteng yang kokoh, belum pernah terkalahkan oleh musuh pada jaman dulu kala yaitu Benteng Boronan.

Perumahan Adat Palawa'

Dahulu kala ada seorang lelaki dari Gunung Sesean bernama "Tomadao" berpetualang. Dalam petualangannya ia bertemu dengan seorang gadis dari gunung Tibembeng bernama "Tallo' Mangka Kalena". Mereka kemudian menikah dan bermukim disebelah timur "desa Palawa" dan sekarang ini bernama Kulambu. Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki bernama Datu Muane' yang kemudian menikahi seorang wanita bernama Lai Rangri'. Kemudian mereka beranak pinak dan mendirikan sebuah kampung yang sekaligus berfungsi sebagai Benteng Pertahanan. Ada sebuah tradisi disaat peperangan terjadi antar kampung/musuh, jika ada lawan yang menyerang dan bisa dikalahkan atau dibunuh, maka darahnya diminum dan dagingnya dicincang, tradisi ini disebut Pa'lawak. Pada pertengahan abad XI, berdasarkan musyawarah adat disepakati, mengganti nama Pa' lawak menjadi Palawa', sebagai suatu kompleks perumahan adat. Dan bukan lagi daging manusia yang dimakan, tetapi diganti dengan ayam dan disebut Palawa' manuk. Keturunan Datu Muane secara berturut-turut membangun tongkonan di Palawa'. Sekarang ini terdapat 11 buah tongkonan (rumah adat) yang urutannya sebagai berikut (dihitung mulai dari arah sebelah barat):

1. Tongkonan Salassa' dibangun oleh Salassa';
2. Tongkonan Buntu dibangun oleh Ne'Tatan
3. Tongkonan Ne'Niro dibangun olek Patangke dan Sampe Bungin
4. Tongkonan Ne'Dane dibangun oleh Ne'Matasik
5. Tongkonan Ne'Sapea dibangun oleh Ne'Sapeah
6. Tongkonan Katile dibangun oleh Ne'PipeTongkonan Ne'Malle dibangun oleh Ne'Malle
7. Tongkonan Sasana Budaya dibangun oleh Ne'Malle
8. Tongkonan Bamba II dibangun oleh Patampang
9. Tongkonan Ne'Babu dibangun oleh Ne'Babu'
10. Tongkonan Bamba I dibangun oleh Ne'Ta'pare.

Tongkonan Palawa' juga memiliki Rante yang disebut Rante Pa'padanunan dan Liang Tua (Kuburan Batu) di Tiro Allo dan Kamandi, selain tongkonan juga dibangun lumbung atau alang sura' tempat menyimpan padi.

Tongkonan Unnoni

Unnoni artinya, "Berbunyi dan bergabung keseluruh penjuru". Nama ini membawa nama harum bagi keturunan leluhur dari Tongkonan Unnoni, sebab beberapa turunan dari tongkonan ini menjadi Kepala Distrik yang sekaligus dilantik sebagai puang (golongan bangsawan tertinggi), di wilayah Sa'dan Balisu desa paling utara Tana Toraja. Puang, sekaligus sebagai to Parengnge' yakni sebagai pemimpin adat dan pemimpin rakyat. Turunan yang berasal dari tongkonan Unnoni antara lain ne' Tongongan, Puang ne'Menteng, Puang Bulo', Puang Pong Sitemme', Puang Ponglabba, Puang Ne' Matandung dan terakhir Puang Duma'Bulo' . Tongkonan Unnoni melahirkan atau erat hubunganya dengan Tongkonan Belo' Sa'dan,Tongkonan Rea, Tongkonan Buntu Lobo' dan Tongkonan Pambalan. Generasi Tongkonan Unnoni merupakan generas i
yang pandai menenun . Istri para pemimpin dari masing-masing Tongkonan inilah yang memiliki ketrampilan menenun secara tradisional (tenun ukir). Cara menenun ini, oleh istri pemimpin diajarkan pada rakyatnya, hingga sekarang dan dapat dilestarikan. Proses menenun Tenun Paruki' inilah, yang dipertontonkan di Tongkonan Unnoni, mulai dari cara merendam benang sampai bisa jadi selembar kain tenun yang terukir cantik dan indah, dalam ukiran motif Toraja melalui sembilan tahapan.

Tongkonan Layukna Galuga Dua dan Pertenunan Asli Sangkombang.
Tongkonan Layukna Galuga Dua merupakan salah satu tongkonan yang dijadikan pengadilan, selain digunakan untuk pengadilan terhadap pelanggaran adat yang menjadi tanggung jawab To'Perengnge, juga merupakan pusat musyawarah para pemimpin keluarga dari Tongkonan Galuga dua untuk menentukan suatu rencana. Terletak sekitar 12 Km, arah utara dari Rantepao, Tongkonan Layukna Puang Galuga Dua; ini dibangun pada tahun 1189 oleh kedua putra Galuga. Dari kedua putranya ini, masing-masing membangun Tongkonan yaitu Tongkonan Papabannu' dari putra pertama dan Banau Sura' dari putra keduanya. Tongkonan Layukna Galuga selain tongkonan keluarga Galuga Dua juga merupakan pusat pertenunan dengan bebagai motif sesuai dengan kebutuhan adat dan ciri khas budaya Toraja. Macam-macam motif tenunan adalah: Tenunan Pamiring khusus untuk sarung perempuan,Tenunan Sappa khusus untuk celana laki-laki, Tenunan Paramba' khusus untuk selimut, Tenunan Paruki' khusus taplak meja dan dekorasi atau hiasan dinding, tenunan Lando khusus tombi untuk pesta untuk pesta rambu solo' atau sapu randanan.

To'Barana Sa'Dan dan Pertenunan Asli Toraja

Sa'dan artinya air atau batang air, To'Barana artinya tempat beringin atau pohon beringin, To' Barana merupakan tempat pengampunan masyarakat Sa'dan dahulu kala apabila masyarakat menghadapi sesuatu kesulitan. Lokasi To'Barana pada mulanya dibentuk oleh nenek moyang keluarga To Barana yang bernama Langi' para'pak. Pada lokasi ini dijadikan perkampungan tongkonan to'. Kemudian, tongkonan ini mengalami renovasi/dibaharui oleh leluhur To'Barana' bernama Puang Pong Labba. Kira- kira dua abad yang lalu dan kemudian mengalami renovasi lagi oleh keluarga Puang Pong Padati pada tahun 1959.
Lokasi dan rumah tongkonan yang diwariskan secara turun temurun kepada generasinya ini selain sebagi tongkonan juga sebagi pusat pertenunan asli Toraja. Para wanita di sini memiliki ketrampilan pandai menenun, karena sejak kecil telah diajarkan oleh orang tuanya. Bahan baku dari bahan tenunan asli di Sa'dan adalah benang kapas yang dipintal kemudian ditenun, seiring dengan perkembangan jaman saat ini tenun sa'dan sudah mulai menciptakan bemacam-macam motif tenun.

Perumahan asli BALIK SALUALLO SANGNGALLA', Balik Saluallo, objek yang juga tidak ketinggalan memiliki beberapa keunggulan atau keunikan tersendiri. Buburan sebagai tempat persembahan masyarakat Toraja yang masih memeluk agama Aluk Todolo (Ancester believe) dilokasi ini untuk memohon hujan pada saat musim kemarau dengan melakukan persembahan pemotongan hewan.
Pata' Padang; sebagai tempat awal bermusyawarah dan bermufakat bagi leluhur Toraja (pemimpin-pemimpin) dari seluruh pelosok di daerah Tondok Lelongan Bulan Tana Matarik Allo (Tana Toraja) untuk memutuskan/ menyatakan strategy melawan serangan dari luar daerah antara lain dari Bone.
Pemimpinnya adalah seorang yang pintar, bijaksana, gagah berani, yang bernama "Tumbang Datu" sekilas pintas otobiografi dari "Tumbang Datu", salah satu generasi dari Tongkonan balik yang memiliki daya pikat tersendiri sebagai berikut: Tumbang Datu sebagai koordinator dalam sejarah Topadatindo yang pernah mengatur strategy untuk melawan musuh yang dating dari Bone. Dan Tumbang Datu selalu berhasil mengalahkan lawannya. Temyata Tumbang Datu adalah salah seorang leluhur dari Tongkonan Balik yang memiliki kharisma tersendiri. Kepandaiannya dapat dibuktikan mengalahkan Datu Luwu beberapa kali dalam kompetisi-kompetisi keterampilan seperti: mempertandingkan ayam. Ayam siapa yang paling banyak berbunyi. Datu Luwu menyiapkan ayam jantan besar, yang hanya sekali-sekali berbunyi. Sedang Tumbang Datu menyiapkan anak-anak ayam yang baru dipisahkan dari induknya. Ternyata ayam dari Tumbang Datu lebih banyak berbunyi dan malah berbunyi terus menerus sangat ramai. Jadi Datu Luwu' merasa kalah. Dan banyak lagi, cerita yang unik yang bisa anda dengar dan terima dari objek wisata Tongkonan Balik Saluallo, yang bemilai kejujuran dan keadilan.





Alam Tana Toraja sangat indah, sehingga dijuluki objek wisata primadona, untuk di Sulawesi Selatan dan Indonesia bagian Timur. Julukan ini pantas karena Tana Toraja sejak tahun 1960 telah dikenal oleh para tourist di berbagai manca negara. Keindahan alam ini dilengkapi dengan :

* Tradisi budaya unik dan menarik
* Panorama yang indah dan udara yang sejuk
* Kesenian dan kerajinan home industry yang antik dan berarsitektur tinggi
* Keramahtamahan penduduk yang sudah populer, dan
* Keamanan yang terjamin

Faktor-faktor tersebut di atas yang sangat digemari oleh para tourist sehingga bagi para investor yang ingin menanamkan modalnya di Tana Toraja dapat melaksanakan usaha :

* Trekking di wilayah yang sejuk di pegunungan
* Rafting di sungai-sungai (sungai Ma'iting), Ma'dong, Sa'dan dan Maulu')
* Wisata alam (Tirotasik, Nanggala)
* Restoran Fast Food (di Makale dan Rantepao)
* Gantole (di Gunung Sopai, Ge'tengan, Ge'tengan, Sesean dan lain-lain)
* Agrowisata (Dende', Bolokan, Baruppu')

Istilah yang sering dijumpai pada objek wisata Tana Toraja :

* Tongkonan : Perkampungan tradisional
* Rante : Lapangan tempat upacara pemakaman
* Simbuang : Tanda upacara tertinggi dalam pesta adat Rambu Solo'
* Liang Lo'ko' : Kuburan dalam gua alam
* Erong : Kuburan kuno dalam kayu dekoratif
* Liang paa' : Kuburan batu pahat
* Patane : Kuburan berbentuk bangunan rumah
* Liang Pia/Passilirian : Kuburan pada pohon hidup untuk bayi yang masih belum tumbuh gigi

Jenis-jenis objek wisata di Kab. Tana Toraja

Wisata Budaya
Upacara Rambu Tuka’
Upacara Rambu Solo’
Rumah Adat/Perkampungan/Tongkonan
Pertenunan
Kuburan Alam
Kuburan Kayu/Erong
Kuburan Batu/Pahat
Kuburan tergantung
Dll

Wisata Alam
Arung Jeram
Panorama Alam
Permandian Air Panas
Air Terjun
Panjat Tebing
Dll

Wisata Agro
Perkebunan Kopi Arabika
Processing Copy Arabica
Hutan Wisata
Wisata Sejarah
Benteng Pongtiku
Kuburan Pongtiku
Kuburan bayi Mummi
Museum Mini
Kuburan Pongmasangka




Alam adalah karunia Tuhan yang dapat dikelola untuk kesejahteraan manusia. Namun telah terbukti bahwa alam kita khususnya sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (unreneable resources ) akhir - akhir ini telah mengalami degradasi kualitas maupun fungsinya, sehingga berdampak pada menurunnya kemampuan alam dalam mendukung kebutuhan pembangunan, bahkan cenderung mengancam kehidupan biota yang rentan terhadap perubahan fngkungan fisik. Kondisi tofografi Tana Toraja yang di dominasi oleh bukit dan gunung, rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat (yang mayoritas memanfaatkan alam sebagai sumber penghidupan) dalam mengelola sumber daya alam yang sekaligus memelihara kelestarian fungsinya, lemahnya partisipasi lembaga masyarakat lokal dalam perencanaan, pengelolaan dan pengawasan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta belum optimalnya perangkat kebijakan dan peraturan yang melindungi pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lestari dan berkeadilan, merupakan akumulasi faktor yang mempercepat penurunan kualitas dan fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup. Letak geografis Tana Toraja pada sentral Sulawesi Selatan bagian Utara akan menyebabkan ikut sertanya Daerah lain di sekitar (Luwu, Luwu Utara, Enrekang, Pinrang, Sidrap, Majene, Polmas, dan Mamuju) dalam merasakan dampak degradasi alam ini. Untuk itu, pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup di Tana Toraja perlu melibatkan daerah sekitar dalam hal kontribusi kebijakan dan retribusi pengelolaan dan pemeliharaan. Pembangunan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan dengan tetap memelihara keseimbangan antara kesejahteraan masyarakat setempat dengan kualitas dan fungsi lingkungan sesuai standar mutu yang telah di tetapkan.
Posted by RheindRheind at 11:38 AM 0 comments Links to this post
Sosial Budaya




Permasalahan pembangunan sosial dan budaya yang menjadi perhatian utama antara adalah lain adalah masih rendahnya derajat kesehatan dimana 28,98% penduduk yang mengalami gangguan kesehatan dan 31,99% dari balita yang tidak pernah mendapatkan lmunisasi. Status gizi dan tingkat kesejahteraan sosial masyarakat; masih rentannya ketahanan budaya dan belum diberdayakannya kesenian dan pariwisata secara optimal karena masih adanya kesenian, kebudayaan tradisional, peninggalan purbakala yang masih terpendam serta obyek-obyek wisata yang belum termanfaatkan, masih rendahnya kedudukan dan peranan perempuan di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan; masih rendahnya partisipasi aktif pemuda dalam pembangunan nasional, belum membudayanya olah raga dan masih rendahnya prestasi olah raga. Permasalahan tersebut akan diatasi melalui pelaksanaan program pembangunan yang mengacu pada arah kebijakan sosial dan budaya yang telah dimanfaatkan dalam GBHN 2001 - 2005. Strategi yang digunakan dalam melaksanakan pembangunan bidang sosial dan budaya adalah desentralisasi; peningkatan peran serta masyarakat termasuk dunia usaha; pemberdayaan masyarakat termasuk pemberdayaan perempuan dan keluarga; penguatan kelembagaan termasuk peningkatan koordinasi antar sektor dan antar lembaga.
Adapun peluang yang dapat diraih adalah kesadaran masyarakat akan hidup sehat, ditetapkannya Tana Toraja sebagai salah satu Daerah Tujuan Wisata, tersedianya potensi generasi muda yang berkualitas, tingginya semangat olah raga di kalangan generasi muda, perhatian terhadap gender dan adanya budaya kerja keras dari kaum wanita.

Kesehatan dan Kesejahtaraan Sosial
Meningkatkan Kualitas / Derajat Kesehatan Masyarakat dan Lingkungan dengan pendekatan paradigma sehat yang berwawasan kesejahteraan. Meningkatkan kualitas pelayanan serta sarana dan prasarana kesehatan. Meningkatkan fungsi dan peranan lembaga - lembaga pemerintahan masyarakat dalam rangka kepedulian pelayanan sosial.
Memgupayakan kesadaran rasa memiliki, menjaga dan memelillara pasilitas yang ada.
Kebudayaan, kesenian dan Pariwisata
Menggali, merumuskan dan mengembangkan nilai - nilai budaya dan adat istiadat dalam rangka memberikan rujukan nilai terhadap perilaku kehidupan dan peningkatan budaya masyarakat. Mengembangkan dan menimbah kualitas kebudayaan daerah yang bersumber dari warisan leluhur. Mengembangkan sikap kritis terhadap nilai - nilai dan budaya luar untuk menghadapi tantangan pembangunan daerah di masa depan. Memantapkan peranan lembaga - lembaga adat dan kesenian dalam rangka mengembangkan dan melestarikan apresiasi nilai - nilai kesenian tradisional. Menjadikan kebudayaan dan kesenian tradisional sebagai wahana pembangunan dan pengembangan pariwisata. Memantapkan pembangunan dan pengembangan pariwisata melalui upaya - upaya ekstensifikasi, intensifikasi, serta diversivikasi obyek dan daya tarik wisata dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia pelaku pariwisata dalam rangka pelayanan prima kepariwisataan. Menciptakan kemudahan - kemudahan dan suasana kondusif untuk menjalin kerjasama dengan pihak luar atas prinsip saling menguntungkan. Meningkatkan peran serta dan partisipasi masyarakat dalam menunjang pembangunan dan pengembangan pariwisata.
Menciptakan suasana yang aman bagi wisatawan baik dari mancanegara maupun domestik.

Pemuda dan Olah Raga
Mengembangkan iklim yang kondusif bagi generasi muda dalam mengaktualisasikan segenap potensi, bakat dan minat yang di miliki menuju terciptanya generasi muda yang berkualitas. Menumbuhkembangkan budaya olah raga guna meningkatkan kualitas manusia sehingga memiliki tingkat kesehatan dan kebugaran yang baik.Mendorong tumbuhnya semangat kewirausahaan di kalangan generasi muda. Memberdayakan organisasi kepemudaan dalam upaya melindungi segenap generasi muda dari bahaya desktruktif terutama bahaya penyakit menular dan penyalahgunaan narkoba.
Meningkatkan fasilitas dan pembinaan minat serta bakat olah raga demi tercapainya sasaran prestasi yang membanggakan.

Pemberdayaan Perempuan
Meningkatkan peranan perempuan dalam pembangunan di segala bidang.Meningkatkan kualitas dan kemandirian perempuan melalui pemberdayaan organisasi perempuan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai budaya, etika, moral dan agama.
Meningkatkan penegakan hukum dan penghormatan terhadap harkat dan martabat perempuan dalam segala aspek pembangunan.
Posted by RheindRheind at 11:17 AM 0 comments Links to this post
Geografis

Tana Toraja adalah sebuah nama daerah dengan status Daerah Tingkat II di kawasan Prop. Sulawesi Selatan, terbentang mulai dari Km.280 s/d Km.355 dari sebelah utara ibukota Provinsi Sulawesi Selatan (Makassar.) Tepatnya pada 2° - 3° LS dan 199° - 120° BT, dengan luas sekitar 3.205,77 Km2 atau sekitar 5% dari luas Prop. Sulawesi Selatan.
Tana Toraja berbatasan dengan wilayah:
Sebelah utara: Kabupaten Mamuju dan Kab. LuwuSebelah timur: Kab. LuwuSebelah Selatan: Kab. Enrekang dan Kab. PinrangSebelah Barat: Kab. Polewali Mamasa
Kondisi Topografi daerah Tana Toraja berada di daerah pegunungan, berbukit dan berlembah; terdiri dari 40% pegunungan dengan memiliki ketinggian antara 150 m s/d 3.083 m diatas permukaan laut (dataran tinggi 20%, dataran rendah 38%, rawa rawa dan sungai 2%), dengan perincian sebagai berikut:
18.425 Ha pada ketinggian 150 - 500 M = 5,80 %143.314 Ha pada ketinggian 501 - 1000 M = 44,70 %118.330 Ha pada ketinggian 1000 - 2000 M = 36,90 %40.508 Ha ketinggian lebih dari 2000 M = 12,60 %
Bagian terendah Kabupaten Tana Toraja berada di kecamatan Bonggakaradeng, sedangkan bagian tertinggi berada di kecamatan Rindinggallo, dengan temperatur suhu rata-rata berkisar antara 15° c - 28° c dengan kelembaban udara antara 82-86%.
Curah Hujan : 1500 mm/tahun s.d lebih dari 3500 mm/tahun.
Keadaan Geologi Kabupaten Tana Toraja lebih banyak dipengaruhi oleh formasi bebatuan dari Gunung Latimojong yang mencakup luas wilayah sekitar 1.565,69 ha atau 48,84% yang terdiri dari jenis bebatuan soprin coklat kemerah-merahan, soprin napalan abu-abu, Batu Gamping dan Batu Pasir kwarsit serta Gradorir Diorir dan lain sebagainya.
Jenis tanah berupa : Tanah Alluvial Kelabu, Brown Forest, Mediteran, dan Podsolit Merah Kuning
Panorama indah gunung-gunung, hutan dan sungai yang bersumber dari mata air pegunungan membasahi persawahan menandakan Kabupaten Tana Toraja merupakan daerah Agraris yang sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencarian di sektor Perkebunan dan Pertanian, yang didukung oleh kondisi tanah yang subur untuk tanaman musiman seperti buah-buahan dan sayur-mayur serta jenis tanaman keras seperti cengkeh, coklat, vanili, lada dan kopi.
Hutan
Hutan di Tana Toraja yang membentang hijau mulai dari Utara sampai ke Selatan berfungsi sebagai pelindung mata air, pencegah erosi dan banjir ataupun sebagai hidrologi tercatat seluas 156.906 ha terdiri dari hutan lindung 138.101 ha dan hutan produksi 18,805 ha. Sektor kehutanan ini sangat memungkinkan untuk pengembangan menjadi hutan wisata sebagai salah satu paket ekowisata/ekotourisme.
Menurut klasifikasi fungsi hutan, maka di Tana Toraja terdapat beberapa kawasan hutan yang sangat memungkinkan untuk dikembangkan menjadi kawasan hutan wisata, yaitu: Kawasan Hutan wisata Nanggala dibagian Utara/Timur, Kawasan Hutan Wisata Mapongka di iselatan, Kawasan Hutan Wisata Messila di Barat serta Kawasan Hutan Rakyat yang tersebar diseantero kabupaten Tana Tnraja yang belum digunakan secara maksimal hingga saat ini.
Prospek hutan ini sangat menjanjikan untuk dijadikan kawasan wisata alam, seperti Trekking, kemping (bumi perkemahan), maupun ekowisata, sehingga dalam pengembangannya tidak perlu merusak lingkungan/ekosistem yang ada bahkan bisa ditingkatkan sebagai kawasan wisata pendidikan lingkungan hidup.
SUNGAI
Keberadaan sungai di Tana Toraja sangat potensial untuk dikembangkan bagi kepentingan pariwisata tirta dan alam, selain airnya yang jernih juga memiliki alur Sungai yang sangat menarik dan menantang. Sehingga sungai di Tana Toraja sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai sarana wisata Tirta/alam dan Rafting (Arung Jeram). Sungai yang teridentifikasi potensi wisata adalah Sungai Sa'dan, Sungai Mai'ting, Sungai Saluputti, Sungai Maulu, Sungai Toriu, Sungai Sarambu.
FLORA dan FAUNA
Jenis Flora yang ada di kabupaten Tana Toraja adalah Flora Endemik dan Flora hasil budidaya. Flora Eademik antara lain uru, nato buangin, enau dan berbagai jenis bambu, kopi arabika dan terung toraja. Sedangkan Flora yang dibudidayakan antara lain cemara, padi, ubi kayu, markisa, kentang, tomat, bawang, kubis, cengkeh, kakao, dan lain-lain. Kedua jenis Flora yang ada tersebut sangat berpotensi serta memiliki prospek cerah untuk dikembangkan, misalnya: kopi jenis arabika, bambu dan buah markisa.
Adapun faunanya yang dapat ditemui antara lain musang, anoa. kuskus, babi hutan, rusa, kerbau, berbagai jenis burung seperti burung hantu, gagak, ranggong, bangau dan lain lain.




ASAL MASYARAKAT TANA TORAJA ...

Konon, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan "tangga dari langit" untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa).
Lain lagi versi dari DR. C. CYRUT seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk (lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo Cina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut.
Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dan dari luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebuatn To Riaja yang mengandung arti "Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan", sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah "orang yang berdiam di sebelah barat". Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Sejarah Aluk
Konon manusia yang turun ke bumi, telah dibekali dengan aturan keagamaan yang disebut aluk. Aluk merupakan aturan keagamaan yang menjadi sumber dari budaya dan pandangan hidup leluhur suku Toraja yang mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan pola-pola tingkah laku hidup dan ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang Matua.
Cerita tentang perkembangan dan penyebaran Aluk terjadi dalam lima tahap, yakni: Tipamulanna Aluk ditampa dao langi' yakni permulaan penciptaan Aluk diatas langit, Mendemme' di kapadanganna yakni Aluk diturunkan kebumi oleh Puang Buru Langi' dirura.Kedua tahapan ini lebih merupakan mitos. Dalam penelitian pada hakekatnya aluk merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa kaum imigran dari dataran Indo Cina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi.
Beberapa Tokoh penting daiam penyebaran aluk, antara lain: Tomanurun Tambora Langi' adalah pembawa aluk Sabda Saratu' yang mengikat penganutnya dalam daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna.
Selain daripada itu terdapat Aluk Sanda Pitunna disebarluaskan oleh tiga tokoh, yaitu : Pongkapadang bersama Burake Tattiu' menuju bagian barat Tana Toraja yakni ke Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba'bana Minanga, derngan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja "To Unnirui' suke pa'pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata sosial yang tidak mengenal strata. Kemudian Pasontik bersama Burake Tambolang menuju ke daerah-daerah sebelahtimur Tana Toraja, yaitu daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta'bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : "To Unnirui' suku dibonga, To unkandei kandean pindan", yaitu pranata sosial yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.Tangdilino bersama Burake Tangngana ke daerah bagian tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial "To unniru'i suke dibonga, To ungkandei kandean pindan", Tangdilino diketahui menikah dua kali, yaitu dengan Buen Manik, perkawinan ini membuahkan delapan anak. Perkawinan Tangdilino dengan Salle Bi'ti dari Makale membuahkan seorang anak. Kesembilan anak Tangdilino tersebar keberbagai daerah, yaitu Pabane menuju Kesu', Parange menuju Buntao', Pasontik ke Pantilang, Pote'Malla ke Rongkong (Luwu), Bobolangi menuju Pitu Ulunna Salu Karua Ba'bana Minanga, Bue ke daerah Duri, Bangkudu Ma'dandan ke Bala (Mangkendek), Sirrang ke Dangle.
Itulah yang membuat seluruh Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo diikat oleh salah satu aturan yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo arti harfiahnya adalah "Negri yang bulat seperti bulan danMatahari". Nama ini mempunyai latar belakang yang bermakna, persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja tidak pernah diperintah oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku adat dan ada sekitar 32 pemangku adat di Toraja.
Karena perserikatan dan kesatuan kelompok adat tersebut, maka diberilah nama perserikatan bundar atau bulat yang terikat dalam satu pandangan hidup dan keyakinan sebagai pengikat seluruh daerah dan kelompok adat tersebut.


GARAGANGKI LEMBANG SURA
LOPI DIMAYA - MAYA
LATANAI SOLA DUA
UMPAMESA PENAWA

KE DENGNGI ANGIN MANGIRI
BARA TILIU LIU
BASSING BASSINGNA TORAYA
SULINGNA TO PALOPO
UMBAI LADIPAPADA DIPASIALA ONI